Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 6)
16 jam lalu

Hukum utang dalam bentuk manfaat

Di antara pembahasan fikih utang piutang yang perlu diketahui adalah terkait dengan hukum “utang dalam bentuk manfaat” [1]. Manfaat dalam arti kegunaan yang dihasilkan dari benda-benda, seperti menempati rumah, menaiki kendaraan, dan lain-lain.

Muncul pertanyaan: Apakah sah meminjamkan manfaat?

Gambaran sederhananya: Seseorang meminjamkan manfaat untuk ikut membantu memanen bersama temannya sehari. Keesokan harinya, temannya yang memanen bersamanya selama sehari.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, dan setidaknya menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: Tidak sah meminjamkan manfaat

Ini merupakan pendapat dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi. Mereka berpendapat demikian karena manfaat dianggap tidak bisa dimiliki. Dalil mereka antara lain sebagai berikut:

Pertama: Salah satu syarat sahnya pinjaman adalah objek pinjaman harus jelas takarannya, sehingga bisa digantikan dalam bentuk yang sama. Sedangkan manfaat itu sulit untuk ditakar, dan konsekuensinya, pengembalian dalam bentuk yang sama sulit untuk terealisasi.

Kedua: Sebagai contoh, jika ada seseorang yang meminjamkan rumahnya agar bisa mendapatkan pinjaman rumah dari orang lain, sebagai bentuk meminjam manfaat, maka hakikatnya ini adalah bagian dari utang piutang yang menghasilkan manfaat. Dan hukumya adalah haram.

Ketiga: Bahwasanya utang dalam bentuk manfaat tidak dikenal secara adat kebiasaan, karenanya hal tersebut tidak diperbolehkan.

Syekh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim hafidzahullah (penulis kitab Shahih Fikih Sunnah) memberikan catatan terhadap ketiga poin di atas,

– Catatan poin pertama: Sejatinya manfaat pun dapat diperjelas takarannya, sehingga ketidakjelasan pada takaran dapat ditiadakan atau dihilangkan. Selain itu, masalah utang piutang dibangun di atas kemudahan dan toleransi. Artinya, jika memang ada kelebihan yang tidak disengaja atau tanpa ada maksud dan tujuan, maka tidak masalah.

– Catatan poin kedua: Di antara para ulama, ada yang mengkategorikan utang manfaat ini sebagai bentuk dari ijarah (sewa menyewa) dan ‘aariyah (pinjam pakai). Dalam hal ini, tidak ada masalah yang signifikan. Selain itu, manfaat di sini bukan hanya untuk satu pihak saja, namun untuk kedua pihak tanpa memudaratkan pihak yang lain. Dan hal ini pun tidak terlarang.

– Catatan poin ketiga: Ketidak-adaan utang manfaat dalam suatu kebiasaan atau adat, bukan berarti menunjukkan akan keharaman suatu hukum. Karena hukum asal pada masalah muamalah adalah mubah (boleh).

Pendapat kedua: Sah meminjamkan manfaat

Yang berpendapat demikian adalah mazhab Maliki, sebagian pendapat Syafi’, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah.

Mereka berpendapat bahwa meminjamkan manfaat sah hukumnya, dengan dalil bahwasanya utang manfaat ini adalah akad yang bentuknya irfaq (akad tolong menolong non komersial) dan juga akad qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Sehingga pada utang manfaat diberikan toleransi, yang toleransi ini tidak diberikan pada akad-akad non komersial yang lain.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

يصح قرض المنافع؛ لأن المنافع يجوز بيعها مثل الممر في الدار، فأملك المنفعة في هذا الممر لكن لا أملك الممر، فبيع المنافع جائز أما إقراضها، فالمذهب لا يجوز

“Sah hukumnya menjadikan manfaat sebagai utang, karena manfaat pun boleh untuk diperjualbelikan. Seperti (hak) lewat jalan di depan rumah, artinya saya memiliki manfaat pada jalan ini, akan tetapi saya tidak memiliki jalan ini (sepenuhnya). Oleh karena itu, menjual manfaat hukumnya boleh. Adapun pendapat mazhab (yaitu mazhab Hanbali, pent.) tidak memperbolehkannya.” [2]

Syekh Al-Utsaimin berpendapat bahwasanya sah meminjamkan manfaat, karena dua hal:

أولاً: أن الأصل في المعاملات الإباحة

ثانياً: أن المنافع تجوز المعاوضة عنها، فإذا كانت تجوز المعاوضة عنها فإنه يجوز إقراضها

Pertama: Hukum asal dalam masalah mu’amalah adalah mubah.

Kedua: Bahwa manfaat boleh dijadikan sebagai objek mu‘āwaḍah (akad pertukaran/kompensasi). Jika manfaat boleh dijadikan sebagai objek mu‘āwaḍah, maka boleh pula menjadikannya sebagai objek qardh (pinjaman). [3]

Gambaran sederhananya:

A mengatakan kepada B, bekerjalah untuk saya selama satu hari di hari ini dan saya akan bekerja untuk anda di hari lain selama satu hari.

Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa “kerja” adalah sebuah manfaat yang dipinjamkan, kemudian dikembalikan dengan manfaat yang serupa. Andaikata ada sedikit perbedaan antara waktu atau jenis kerja, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Kecuali memang terdapat perbedaan yang besar dari segi waktu dan kerja, maka tentunya hal ini tidak menjadi keridaan antara salah satu dari kedua belah pihak.

Terdapat penjelasan yang sangat bagus dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah terkait dengan masalah utang dalam bentuk manfaat. Dalam Majmu’ Fatawa [4], beliau menjelaskan,

فإن ‌القرض ‌من ‌جنس التبرع بالمنافع كالعارية… وباب العارية أصله أن يعطيه أصل المال لينتفع بما يستخلف منه ثم يعيده إليه فتارة ينتفع بالمنافع كما في عارية العقار وتارة يمنحه ماشية ليشرب لبنها ثم يعيدها وتارة يعيره شجرة ليأكل ثمرها ثم يعيدها فإن اللبن والثمر يستخلف شيئا بعد شيء بمنزلة المنافع

“Sejatinya, utang piutang itu termasuk dalam jenis tabarru’ (akad sosial) dengan memberikan manfaat, sebagaimana halnya ‘ariyah (pinjam pakai). Adapun asal dari bab ‘ariyah adalah seseorang memberikan barang pokoknya agar dipakai manfaat yang muncul darinya, kemudian dikembalikan lagi kepadanya. Kadang merupakan pemanfaatan manfaat yang murni, seperti pinjam pakai tanah atau bangunan. Kadang seseorang meminjamkan hewan ternak untuk diperah susunya kemudian dikembalikan lagi; kadang meminjamkan pohon untuk dimakan buahnya, kemudian pohon itu dikembalikan lagi; karena sejatinya susu dan buah itu senantiasa berganti dan muncul terus-menerus, sama halnya seperti manfaat.”

Beliau rahimahullah menyamakan antara pinjam meminjam manfaat dengan ‘ariyah (pinjam pakai). Sama-sama akad sosial non komersil, yaitu setelah digunakan (dimanfaatkan), maka dikembalikan. Dan tidak ada permasalahan padanya.

Beliau rahimahullah melanjutkan,

والمقرض يقرضه ما يقرضه لينتفع به ثم يعيد له بمثله فإن إعادة المثل تقوم مقام إعادة العين ولهذا نهي أن يشترط زيادة على المثل كما لو شرط في العارية أن يرد مع الأصل غيره

“Dan pemberi pinjaman, memberikan pinjaman agar penerima pinjaman dapat mengambil manfaat darinya, lalu ia mengembalikannya dengan yang semisal. Sejatinya pengembalian dengan yang semisal itu, kedudukannya sama dengan pengembalian barang asal (pada ‘ariyah). Karena itu, dilarang mensyaratkan tambahan atas yang semisal, sebagaimana (dilarang juga) jika disyaratkan pada ‘ariyah untuk mengembalikan barang asal bersama tambahan yang lain.”

Artinya, pada utang yang berbentuk manfaat pun tidak boleh disyaratkan di awal akad adanya tambahan manfaat yang diberikan. Kembali kepada kaidah, “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat, maka itu adalah riba.”

Kesimpulan

Kesimpulan pada pembahasan ini, utang piutang dalam bentuk manfaat hukumnya sah dan boleh. Dengan beberapa hal yang perlu diketahui,

  • Manfaat boleh dijadikan utang piutang, karena manfaat boleh diperjualbelikan. Kaidahnya, “Setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk dijadikan utang piutang.”
  • Utang piutang dalam bentuk manfaat adalah bentuk dari akad sosial (non komersial).
  • Tambahan ketika mengembalikan utang dalam bentuk manfaat, jika bentuknya hal yang kecil, maka tidak masalah. Jika bentuknya besar, maka tentu tidak diperbolehkan.
  • Pada akad utang piutang dalam bentuk manfaat, para ulama menyamakannya dengan ‘ariyah (pinjam pakai).
  • Utang piutang dalam bentuk manfaat berbeda dengan sewa menyewa jasa. Karena akad sewa menyewa jasa adalah mu’awadhoh (komersil). Adapun utang piutang dalam bentuk manfaat, akadnya adalah tabarru’at (akad sosial alias non komersil).

Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 5

***

Depok, 27 Safar 1447/ 21 Agustus 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.

Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.

 

Catatan kaki:

[1] Pembahasan ini disarikan dari kitab Shahih Fiqih Sunnah, 5: 74-76.

[2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 97.

[3] Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 97.

[4] Majmu’ Fatawa, 20: 514-515.


Artikel asli: https://muslim.or.id/108629-fikih-utang-piutang-bag-6.html